Begitu bus berhenti, puluhan pedagang
asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajing loncat
ketika bus masih berada di mulut terminal. Bus menjadi pasar yang sangat
hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun
begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara
melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan,
bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh
ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah
mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, atau
manusia-manusia yang tak punya duit.
Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang
tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti
itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus
segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki
yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri.
Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang lain kelihatan
sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini
sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa
ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak
mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba
berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak
acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat
berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di
belakangku itu.
Masih banyak hal yang belum sempat aku
baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya
berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan
salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam
suara yang bening. Dan tangannya menengadah. Lelaki itu mengemis. Aku membaca
tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik
shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama
dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar
sendiri ada lelaki membaca shalawat badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi
pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang
kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia
hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah
Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan.
Semula ada perasaan tidak setuju
mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis.
Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku.
Mungkin karena shalawat itu maka tanganku bergerak merogoh kantong dan
memberikan selembar ratusan. Atau karena ada banyak hal dapat dibaca pada wajah
si pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan
yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal
karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat
Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada
berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering
didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya
untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah" Sayangnya,
aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis
terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di
belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berte-riak kepada sopir.
Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disel yang meraung-raung. Kudengar kedua
awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak
penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata
tak kunjung datang. Mereka terus bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap
didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan busnya
dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah
lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat
pintu belakang.
"He, sira! Kenapa kamu
tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada
dibuang ke laut dijadikan rumpon?"
Pengemis itu diam saja.
"Turun!"
"Sira beli mikir! Bus cepat seperti ini aku harus
turun?"
"Tadi siapa suruh kamu naik?"
"Saya naik sendiri. Tapi saya
tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti
saya akan turun. Mumpung belum jauh."
Kondektur kehabisan kata-kata.
Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang
dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak
didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil
bersungut. Si pengemis yang merasa sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya
di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam: "... shalatullah,
salamullah, 'ala thaha rasulillah...."
Shalawat itu terus mengalun dan
terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang
membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk
sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum
mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat
ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu
memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik
dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku
berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna
karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia
maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh
hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi ketika
kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak dengan suara
dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku.
Mayat-mayat itu terluka dan beberapa di antaranya kelihatan sangat mengerikan.
Karena merasa takut aku pun lari. Namun sebuah batu tersandung dan aku jatuh ke
tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada
cairan mengalir dari lubang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya
Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di
depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan
bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak
kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan
raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan
berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang
lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki
itu dengan tenang berjalan kembali ke arah kota Cirebon.
Telingaku dengan gamblang mendengar
suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu: "shalatullah,
salamullah, 'ala thaha rasulillah..."
Sumber : "Pandai Memahami dan Menulis Cerita Pendek: Aminudin)
Keterangan : Shalawat Badar adalah salah satu cerpen yang dimuat dalam Kumpulan Cerpen "Senyum Karyamin"
semoga bermanfaat dan juga semoga menginspirasi Sahabat untuk Berbagi Inspirasi Lewat menulis, salah satunya adalah dengan menulis cerpen
Sumber : "Pandai Memahami dan Menulis Cerita Pendek: Aminudin)
Keterangan : Shalawat Badar adalah salah satu cerpen yang dimuat dalam Kumpulan Cerpen "Senyum Karyamin"
semoga bermanfaat dan juga semoga menginspirasi Sahabat untuk Berbagi Inspirasi Lewat menulis, salah satunya adalah dengan menulis cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar